Selasa, 07 Mei 2013

POTRET BURAM PENDIDIKAN INDONESIA; Analisa Komparatif Antara System Pendidikan Berbasis Pondok Pesantren Dan Pendidikan Konvensional


HANTARAN
Pendidikan dinegeri kita dalam posisi titik nadir. kasus memilukan yang menerpa dunia pendidikan menambah deretan panjang buramnya potret lembaga yang sejatinya ditujukan untuk mencerdaskan anak bangsa. Belum selesai gerakan penentangan UNAS, dalam waktu yang hampir tidak terlalu lama masyarakat kita disuguhkan dengan penyakit kronis lembaga sekolah yaitu tawuran antar pelajar. Lagi-lagi yang menjadi sasaran kambing hitamnya tak lain adalah system kurikulum pendidikan nasional.
Kurang lebih sewindu  kemendiknas menerapkan system kurikulum berbasis kompetensi kemudian secara lebih afirmatif disempurnakan dengan system tingkat satuan pendidikan. Harapannya adalah mampu mengatasi system pembelajaran  berbasis kolektivisme yang berorientasi materi un-sich tanpa memperhatikan aspek ketercapaian individu peserta didik. Ditengah perjalan, secara avirmatif untuk mengurangi tawuran antar pelajar dan mengurangi degradasi moralitas ideology keindonesiaan maka kurikulum tersebut ditekankan pada pendalaman dan peningkatan karakter peserta didik yag kemudian kita kenal dengan sebutan pendidikan berbasis karakter nilai-nilai kebangsaan.
Namun apa yang terjadi, Komisi Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat sepanjang tahun 2012 hingga 25 Desember 2012   telah terjadi sebanyak 147 tawuran yang diantaranya menyebabkan korban tewas sebanyak 82 pelajar. Hal ini sungguh fantasnis dan meningkat disbanding  tahun 2011 yang hanya terjadi 128 kasus, dan menewaskan 30 pelajar[1]. Setidaknya jumlah ini akan terus berlanjut bahkan akan terus bertambah secara kuwantitas kalau pemerintah tetap bersikukuh bahwa perubahan kurikulum sebagai ajang revitalisasi dan dianggap mampu menjadi solusi semua probem pendidikan Indonesia yang amat komplek.
 Disisi lain terdapat sebuah pendidikan tertua, berciri khas, unik serta memiliki tradisi khalistik ke-indonesiaan yang selama ini selalu dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Lembaga pendidikan Pesantren namanya. Kemampuannya dalam menjaga nilai primordial membuat lembaga ini menjadi satu-satunya lembaga yang mampu bertahan dan mempossikan diri sebagai aktor penting terhadap penyebaran nilai-nilai keislaman dalam pranata sosial dimasyarakat[2]. Maka tidak mengherankan kalau kemudian pesantren dianggap sebagai lebaga yang tertutup dan kebal terhadap perkembangan zaman.
Hujan kritik dan streotyp miring tentang pesantren sering terdengar dari ruang diskusi non formal hingga forum-forum ilmiyah, mulai dari anggapan sub altrem, kumuh, administrasi lemah (awur-awuran) bahkan dianggap sebagai lembaga dis-oriented karena tujuh puluh lima persen lulusannya tidak tersertifikasi hingga sulit mencari pekerjaan. Namun bukti nyata dari praktek diskriminatif ini adalah pesantren tidak pernah tercatat dalam insklopedy sejarah formal pendidikan nasional.
Menaggapi kritik diatas pesantren tidak serta merta berkecil hati, diantara mereka ada yang secara tegas ambil bagian dan masuk dalam proses system pendidikan nasional dengan mendirikan unit atau lembaga pendidikan formal, baik dibawah naungan departemen agama (seperti MI, MTs, Aliyah Hingga perguruan tinggi islam) ada pula yang tetap bersikukuh pada pakem idealismenya yaitu dengan konsiten dengan kurikulum pesentren salaf serta tidak mau terintervensi oleh dunia luar bahkan dunia luar bahkan dari pemerintah.
Yang menjadi fokus dalam penyusunan makalah ini adalah mencoba mengkomparasikan antara orientasi, metode pembelajaran serta mekanisme system pendidikan nasional yang terukur, terarah dan sarat dengan peraktik dan etika modern dikomparasikan dengan system pendidikan pondok pesantren salaf yang berbasis tutorial, klasikal tuntas.

STRUKTUR DAN SUBSTANSI KURIKULUM PESANTREN
Secara managerial, konseptualisasi lembaga pendidikan pesantren sepenuhnya berada ditangan seorang pemimpin yang biasa disebut kiyai jawa, nun sementara atau dimadura biasa akrab dipanggil dengan sebutan bendera yang disingkat dengan kata Iora atau cukup ra. Kyai merupakan seorang pemimpin kharismatik, terhormat dan sangat dipatuhi tidak hanya bagi santri (para murid yang belajar di pesantren) melainkan juga sangat berpengaruh bagi masyarakat sekitar. Sikap hormat dan kepatuhan kepada kiyai ini kemudian diperluas bukan hanya diberikan kepada kiyai yang sekarang menjadi gurunya, tetapi juga pengasuh sebelumnya (ushulihi),maupun kepada keturunannya (anak cucunya: furu’ihi)[3].
Struktur dan substansi kurikulum yang berlaku di lembaga- lembaga pendidikan pesantren pada umumnya memperlihatkan sebuah pola yang sama dan tetap atau tidak berubah dari waktu ke waktu. Pola tersebut dapat disarikan ke dalam pokok- pokok sebagai berikut. (1) Kurikulum lembaga pendidikan pesantren di buat dan disusun serta bertujuan untuk mencetak ulama di masa depan, (2) struktur dasar kurikulum pesantren adalah pengajaran pengetahuan agama dalam segenap tingkatan dan dalam proses pembelajaran menggunakan system bimbingan kepada santri ( peserta didik) secara pribadi oleh guru atau kiyai, (3) secara keseluruhan, pesantren yang ada berwatak lentur/fleksibel, dalam arti setiap peserta didik (santri) berkesampatan menyusun kurikulum sendiri secara utuh atau sebagian sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya[4].
Pendidikan pesantren dengan pola dan struktur kurikulum seperti tersebut diatas, sangat menekan pada pembinaan pribadi dengan sikap tertentu yang utuh, telah menciptakan tenaga kerja untuk lapangan-lapangan kerja yang tidak direncanakan sebelumnya. Tenaga kerja yang dihasilkan, tidak membutuhkan spesialisasi keahlian seperti guru ngaji, pedagang kecil dan sebagainya.
Kenyataannya seoerti itu mengundang kritik atau setidak-tidaknya penilaian negative atas kemampuan pesantren menyadiakan tenaga kerja terdidik sesuai kebutuhan lapangan kerja masyarakat modern. Tidak jelasnya arahstruktur dan substansi kurikulum dalam kaitannya dengan penyediaannya tenaga kerja terdidik atau terlatih, memeng wajar-wajar saja. Konsekuensi anggapan ini adalah adanya harapan kepada pesantren agar bersedia membuka diri bagi terlaksananya pendidikan yang menjurus penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan masyarakat modern. 
Kesediaan pesantren membuka diri terhadap dunia luar memang sangat memungkinkan lembaga tersebut akan lebih kondusif terhadap lingkungannya terutama dalam mengantisi pasi masa depan. Akan tetapi, apabila keterbukaan tersebut sampai membongkar atau setidak-tidaknya mengabaikan factor-faktor dasar yang yang menjadi prinsip pendidikan pesantren, dikhawatu\irkan akan kehilangan pamor di kalangan penduduknya.
Untuk memenuhi harapan-harapan di atas, kiranya perlu mencermati berbagai kurikulum pesantren. Minimal garis-garis besarnya yang berlangsung dewasa ini. Pemahaman terhadap perkembangan kurikulum pesantren tidak dapat dilepaskan dari pemahaman nilai-nilai dasr yang menopang kurikukulum pesantren secara keseluruhan. Tanpa mengetahi nilai-nilai yng penopangnya, tidak akan diperoleh pengetahuan yang utuh sedemikian hingga kurikulum pesantren berkembang seperti yang ada sekarang Dengan pemahaman terhadap nilai-nilai penopangnya, selanjutnya dapat menyesuaikan, bahkan munkin sampai pada taraf menguji coba kurikulum yang lebih berguna bagi pengembangan pesantren.
Pesantren memiliki nila-nilai sendiri yang berbeda dengan yang ada di luar. Sistem nilai tersebut mendukung sikap hidup tersendiri, yang mempengaruhi pada perkembangan kurikulum pendidikan. Sistem nilai yang hidup di pesantren dapat diidentifikasi dari beberapa nilai utama yang merupakan penunuajna keberadaan pesantren.
Pertam, sikap memnadang kehidupan secara keseluruhan sebagai kerja ibadah. Sejak seorang santri masuk pesantren, dikenalkan suatu dunia tersendiri, dengan peribadatan menempati kedudukan tertinggi. Dimulai dari pemikiran, cara-cara beribadah, sampai pada penentuan jalan hidup yang akan dipilih selalu dipusatkan pada pandangan yang serba mengandung nilai ibadah. Tujuan hidup yang sering dikedepankan ialah menjadi seorang guru atau kyai yang diperoleh melalui konteks kerja beribadah dan untuk tujuan ibadah pula.
Kedua ketulusan bekerja untuk tujuan bersama. Manivestasi nilai ini adalah ketaatan santri terhadap kyai dalam melakukan semua perintahnya tanpa ada rasa berat dan bahkan penuh kerelaan. Kesediaan kyai membuka pintu dalam sehari semalam untuk menerima tamu juga merupakan cerminan  nilai utama berupa keikhlasan[5].

PENDIDIKAN NASIONAL ANTARA IDEALITAS DAN REALITAS
Definisi pendidikan, fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya masyarakat, bangsa dan Negara (pasal 1 UURI No.20 tahun 2003).
Fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yag bermartabat dalam rangka mencerdakan kehidupan bangsa. Adapun tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi mausia yang beriman dan bertaqa kepada tuhan kepada tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab (pasal 3 UURI No.20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional)[6].
Pada dasarnya secara idealitas dan perencaan system Pendidikan Nasional amatlah baik, namun hal itu menjadi lemah dalam proses pelaksaan, pengawasang hingga evalausinya sangat lemah. Makanya dalam bagian ini pemakalah menyebutkan Pendidikan Nasional antara idealitas dan realitas yang akan kami paparkan sebagai berikut:
Pertama: dalam persoalan akses dan keikutsertaan peserta didik, bahwa Pendidikan merupakan hak setiap warga negara. Paling tidak, begitulah yang ternyatakan dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUDNRI 1945), “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Pasal tersebut dapat diartikan bahwa pendidikan merupakan hak konstitusional setiap warga negara Republik Indonesia. Hak untuk mendapatkan pendidikan tersebut dijamin oleh konstitusi. Namun masih segar dalam ingatan kita rentetan panjang beberapa anak harus putus sekolah karena persoalan biaya[7].
Kedua: dalam persoalan kurikulum, sejatinya bahwa setiap sekolah diberi kewenangan untuk mengambangkan kurikulum secara mandiri-integratif dengan harapan mampu menyerap serta memenuhi kebutuhan masing-masing sekolah tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, secara idealitas kurikulum tingkat satuan pendidikan merupakan pengejawantahan dari kurikulum berbasis kompetensi yang terlalu menekankan pada formalitas portofolio. Namun pada kenyataannya tiap sekolah masih terlalu tergantung pada draf dan acuhan yang telah disediakan oleh dinas terkait, beberapa pakar pendidikan menyebutkan masalahnya adalah UN yang membuat beberapa sekulah terkooptasi dan kurang terlalu berani untuk memiliki kemandirian secara leluasa dalam menyusun kurikulum[8].
Ketiga: Aspek profesionalisasi dan ketenaga pendidikan, Menindaklanjuti UU Sisdiknas lahirlah UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang dalam penyusunannya menggunakan prinsip-prinsip dasar guru memiliki kualifikasi dan kompetensi yang dibuktikan dengan sertifikat profesi pendidik. Namun pada kenyataannya sebagian dari para pahlawan yang dikenal dengan tanpa jasa ini mengejar sertifikasi bukan bertujuan untuk meningkat kualitas profetik namun bertujuan untuk menaikkan tunjangan. Hal ini terlihat dari satu kasus yang mengemuka di NTT bahwa setiap guru yang mengikuti uji kompetensi dan portofolia rela mengeluarkan dan sampai ratusan ribu dan ada yang stress ketika mereka dinyatakan lulus uji kompetensi namun tunjangan tidak mereka dapatkan[9]. 


[1] Baca: hasil catatan kenakalan dan kekerasan antar pelajar yag dilakukan oleh Komisi Perlindungan Anak (Komnas PA) yang dirilis  Metro Politan Jum’at 28 Desember 2012 (http://metropolitan.inilah.com)
[2] Achmad Junaidi, Gus Dur Presiden Kyai Indonesia; Pemikiran nyentrik Abdurrahman Wahid Dari Pesantren Hingga Parlemen Jalanan, (Diantama Surabaya: 2010) Hal. 14 
[3] Van Martin Busines, Rakyat Kecil; Islam dan Politik (Yayasan Benteng Budaya, Jogyakarta: 1985) Hal. 18
[4] Abdurrahman Wahid, Kurikulum Pesantren dan Penyediaan Angkatan Kerja, (Dalam Dialog Litbang Departemen Agama Republik Indonesia, Tahun. 1979) IV:17
[5] H. Hasan Anwar, Pendidikan Pesantren dan Penyediaan Tenaga Kerja, Telaah Modernisasi Kurikulum, (dalam Jurnal Nizamiya: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya: Vol. 5 No.1 Tahun 2002)Hal. 31
[6] Baca: Landasan Yuridis dan Landasan Filosofis Pendidikan: Dinn Wahyudin dkk “Pengantar Pendidikan” (Universitas Terbuka: Jakarta tahun 2008) Hal. 2.9
[7] Ingat:  seorang anak yang baru lulus SD  bunuh diri akibat frustasi karena ia tidak dapat melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) karena biayanya yang mahal sedangkan orang tua dari anak tersebut tidak mampu membiayai anak tersebut (http://karishachan.wordpress.com) 2010
[8] Baca: Mulyasa, E. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung. Remaja Rosdakarya. 2007 tanpa halaman
[9] Baca: Spirit NTT, 17-23 November 2008, Sertifikasi Guru antara Harapan dan Realitas. (http://spiritentete.blogspot.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar