HANTARAN
Pendidikan dinegeri kita dalam posisi titik nadir. kasus
memilukan yang menerpa dunia pendidikan menambah deretan panjang buramnya
potret lembaga yang sejatinya ditujukan untuk mencerdaskan anak bangsa. Belum
selesai gerakan penentangan UNAS, dalam waktu yang hampir tidak terlalu lama
masyarakat kita disuguhkan dengan penyakit kronis lembaga sekolah yaitu tawuran
antar pelajar. Lagi-lagi yang menjadi sasaran kambing hitamnya tak lain adalah
system kurikulum pendidikan nasional.
Kurang lebih sewindu kemendiknas
menerapkan system kurikulum berbasis kompetensi kemudian secara lebih afirmatif
disempurnakan dengan system tingkat satuan pendidikan. Harapannya adalah mampu
mengatasi system pembelajaran berbasis
kolektivisme yang berorientasi materi un-sich
tanpa memperhatikan aspek ketercapaian individu peserta didik. Ditengah
perjalan, secara avirmatif untuk mengurangi tawuran antar pelajar dan
mengurangi degradasi moralitas ideology keindonesiaan maka kurikulum tersebut
ditekankan pada pendalaman dan peningkatan karakter peserta didik yag kemudian
kita kenal dengan sebutan pendidikan berbasis karakter nilai-nilai kebangsaan.
Namun apa yang terjadi, Komisi Perlindungan Anak (Komnas PA)
mencatat sepanjang tahun 2012 hingga 25 Desember 2012 telah terjadi sebanyak 147 tawuran yang
diantaranya menyebabkan korban tewas sebanyak 82 pelajar. Hal ini sungguh
fantasnis dan meningkat disbanding tahun
2011 yang hanya terjadi 128 kasus, dan menewaskan 30 pelajar[1].
Setidaknya jumlah ini akan terus berlanjut bahkan akan terus bertambah secara
kuwantitas kalau pemerintah tetap bersikukuh bahwa perubahan kurikulum sebagai
ajang revitalisasi dan dianggap mampu menjadi solusi semua probem pendidikan
Indonesia yang amat komplek.
Disisi lain terdapat
sebuah pendidikan tertua, berciri khas, unik serta memiliki tradisi khalistik
ke-indonesiaan yang selama ini selalu dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Lembaga
pendidikan Pesantren namanya. Kemampuannya dalam menjaga nilai primordial
membuat lembaga ini menjadi satu-satunya lembaga yang mampu bertahan dan
mempossikan diri sebagai aktor penting terhadap penyebaran nilai-nilai
keislaman dalam pranata sosial dimasyarakat[2].
Maka tidak mengherankan kalau kemudian pesantren dianggap sebagai lebaga yang
tertutup dan kebal terhadap perkembangan zaman.
Hujan kritik dan streotyp miring tentang pesantren sering
terdengar dari ruang diskusi non formal hingga forum-forum ilmiyah, mulai dari
anggapan sub altrem, kumuh,
administrasi lemah (awur-awuran)
bahkan dianggap sebagai lembaga dis-oriented
karena tujuh puluh lima persen lulusannya tidak tersertifikasi hingga sulit
mencari pekerjaan. Namun bukti nyata dari praktek diskriminatif ini adalah pesantren
tidak pernah tercatat dalam insklopedy sejarah formal pendidikan nasional.
Menaggapi kritik diatas pesantren tidak serta merta berkecil
hati, diantara mereka ada yang secara tegas ambil bagian dan masuk dalam proses
system pendidikan nasional dengan mendirikan unit atau lembaga pendidikan
formal, baik dibawah naungan departemen agama (seperti MI, MTs, Aliyah Hingga
perguruan tinggi islam) ada pula yang tetap bersikukuh pada pakem idealismenya yaitu dengan konsiten
dengan kurikulum pesentren salaf serta tidak mau terintervensi oleh dunia luar
bahkan dunia luar bahkan dari pemerintah.
Yang menjadi fokus dalam penyusunan makalah ini adalah
mencoba mengkomparasikan antara orientasi, metode pembelajaran serta mekanisme
system pendidikan nasional yang terukur, terarah dan sarat dengan peraktik dan
etika modern dikomparasikan dengan system pendidikan pondok pesantren salaf
yang berbasis tutorial, klasikal tuntas.
STRUKTUR DAN SUBSTANSI KURIKULUM PESANTREN
Secara managerial, konseptualisasi lembaga pendidikan
pesantren sepenuhnya berada ditangan seorang pemimpin yang biasa disebut kiyai jawa, nun sementara atau dimadura biasa akrab dipanggil dengan sebutan bendera yang disingkat dengan kata Iora atau cukup ra. Kyai merupakan seorang pemimpin kharismatik, terhormat dan
sangat dipatuhi tidak hanya bagi santri (para murid yang belajar di pesantren)
melainkan juga sangat berpengaruh bagi masyarakat sekitar. Sikap hormat dan
kepatuhan kepada kiyai ini kemudian diperluas bukan hanya diberikan kepada
kiyai yang sekarang menjadi gurunya, tetapi juga pengasuh sebelumnya (ushulihi),maupun kepada keturunannya
(anak cucunya: furu’ihi)[3].
Struktur dan substansi kurikulum yang berlaku di lembaga-
lembaga pendidikan pesantren pada umumnya memperlihatkan sebuah pola yang sama
dan tetap atau tidak berubah dari waktu ke waktu. Pola tersebut dapat disarikan
ke dalam pokok- pokok sebagai berikut. (1) Kurikulum lembaga pendidikan
pesantren di buat dan disusun serta bertujuan untuk mencetak ulama di masa
depan, (2) struktur dasar kurikulum pesantren adalah pengajaran pengetahuan
agama dalam segenap tingkatan dan dalam proses pembelajaran menggunakan system
bimbingan kepada santri ( peserta didik) secara pribadi oleh guru atau kiyai,
(3) secara keseluruhan, pesantren yang ada berwatak lentur/fleksibel, dalam
arti setiap peserta didik (santri) berkesampatan menyusun kurikulum sendiri
secara utuh atau sebagian sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya[4].
Pendidikan pesantren dengan pola dan struktur kurikulum
seperti tersebut diatas, sangat menekan pada pembinaan pribadi dengan sikap
tertentu yang utuh, telah menciptakan tenaga kerja untuk lapangan-lapangan
kerja yang tidak direncanakan sebelumnya. Tenaga kerja yang dihasilkan, tidak
membutuhkan spesialisasi keahlian seperti guru ngaji, pedagang kecil dan
sebagainya.
Kenyataannya seoerti itu mengundang kritik atau
setidak-tidaknya penilaian negative atas kemampuan pesantren menyadiakan tenaga
kerja terdidik sesuai kebutuhan lapangan kerja masyarakat modern. Tidak
jelasnya arahstruktur dan substansi kurikulum dalam kaitannya dengan
penyediaannya tenaga kerja terdidik atau terlatih, memeng wajar-wajar saja.
Konsekuensi anggapan ini adalah adanya harapan kepada pesantren agar bersedia
membuka diri bagi terlaksananya pendidikan yang menjurus penyediaan tenaga
kerja yang sesuai dengan masyarakat modern.
Kesediaan pesantren membuka diri terhadap dunia luar memang
sangat memungkinkan lembaga tersebut akan lebih kondusif terhadap lingkungannya
terutama dalam mengantisi pasi masa depan. Akan tetapi, apabila keterbukaan
tersebut sampai membongkar atau setidak-tidaknya mengabaikan factor-faktor
dasar yang yang menjadi prinsip pendidikan pesantren, dikhawatu\irkan akan
kehilangan pamor di kalangan penduduknya.
Untuk memenuhi harapan-harapan di atas, kiranya perlu
mencermati berbagai kurikulum pesantren. Minimal garis-garis besarnya yang
berlangsung dewasa ini. Pemahaman terhadap perkembangan kurikulum pesantren
tidak dapat dilepaskan dari pemahaman nilai-nilai dasr yang menopang kurikukulum
pesantren secara keseluruhan. Tanpa mengetahi nilai-nilai yng penopangnya,
tidak akan diperoleh pengetahuan yang utuh sedemikian hingga kurikulum
pesantren berkembang seperti yang ada sekarang Dengan pemahaman terhadap
nilai-nilai penopangnya, selanjutnya dapat menyesuaikan, bahkan munkin sampai
pada taraf menguji coba kurikulum yang lebih berguna bagi pengembangan
pesantren.
Pesantren memiliki nila-nilai sendiri yang berbeda dengan
yang ada di luar. Sistem nilai tersebut mendukung sikap hidup tersendiri, yang
mempengaruhi pada perkembangan kurikulum pendidikan. Sistem nilai yang hidup di pesantren
dapat diidentifikasi dari beberapa nilai utama yang merupakan penunuajna
keberadaan pesantren.
Pertam, sikap
memnadang kehidupan secara keseluruhan sebagai kerja ibadah. Sejak seorang
santri masuk pesantren, dikenalkan suatu dunia tersendiri, dengan peribadatan
menempati kedudukan tertinggi. Dimulai dari pemikiran, cara-cara beribadah,
sampai pada penentuan jalan hidup yang akan dipilih selalu dipusatkan pada pandangan
yang serba mengandung nilai ibadah. Tujuan hidup yang sering dikedepankan ialah
menjadi seorang guru atau kyai yang diperoleh melalui konteks kerja beribadah
dan untuk tujuan ibadah pula.
Kedua ketulusan bekerja untuk tujuan
bersama. Manivestasi nilai ini adalah ketaatan santri terhadap kyai dalam
melakukan semua perintahnya tanpa ada rasa berat dan bahkan penuh kerelaan.
Kesediaan kyai membuka pintu dalam sehari semalam untuk menerima tamu juga
merupakan cerminan nilai utama berupa
keikhlasan[5].
PENDIDIKAN NASIONAL ANTARA IDEALITAS
DAN REALITAS
Definisi pendidikan, fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan
dirinya masyarakat, bangsa dan Negara (pasal 1 UURI No.20 tahun 2003).
Fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yag bermartabat dalam rangka mencerdakan
kehidupan bangsa. Adapun tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi mausia yang beriman dan bertaqa kepada tuhan
kepada tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab (pasal
3 UURI No.20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional)[6].
Pada dasarnya secara idealitas dan perencaan system
Pendidikan Nasional amatlah baik, namun hal itu menjadi lemah dalam proses
pelaksaan, pengawasang hingga evalausinya sangat lemah. Makanya dalam bagian
ini pemakalah menyebutkan Pendidikan Nasional antara idealitas dan realitas
yang akan kami paparkan sebagai berikut:
Pertama: dalam persoalan akses dan
keikutsertaan peserta didik, bahwa Pendidikan merupakan hak setiap warga
negara. Paling tidak, begitulah yang ternyatakan dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUDNRI 1945), “Setiap warga negara
berhak mendapat pendidikan”. Pasal tersebut dapat diartikan bahwa pendidikan
merupakan hak konstitusional setiap warga negara Republik Indonesia. Hak untuk
mendapatkan pendidikan tersebut dijamin oleh konstitusi. Namun masih segar
dalam ingatan kita rentetan panjang beberapa anak harus putus sekolah karena
persoalan biaya[7].
Kedua: dalam persoalan kurikulum, sejatinya
bahwa setiap sekolah diberi kewenangan untuk mengambangkan kurikulum secara
mandiri-integratif dengan harapan mampu menyerap serta memenuhi kebutuhan
masing-masing sekolah tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, secara
idealitas kurikulum tingkat satuan pendidikan merupakan pengejawantahan dari
kurikulum berbasis kompetensi yang terlalu menekankan pada formalitas
portofolio. Namun pada kenyataannya tiap sekolah masih terlalu tergantung pada
draf dan acuhan yang telah disediakan oleh dinas terkait, beberapa pakar
pendidikan menyebutkan masalahnya adalah UN yang membuat beberapa sekulah
terkooptasi dan kurang terlalu berani untuk memiliki kemandirian secara leluasa
dalam menyusun kurikulum[8].
Ketiga: Aspek profesionalisasi dan ketenaga
pendidikan, Menindaklanjuti UU Sisdiknas lahirlah UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen, yang dalam penyusunannya menggunakan prinsip-prinsip dasar guru
memiliki kualifikasi dan kompetensi yang dibuktikan dengan sertifikat profesi
pendidik. Namun pada kenyataannya sebagian dari para pahlawan yang dikenal
dengan tanpa jasa ini mengejar sertifikasi bukan bertujuan untuk meningkat
kualitas profetik namun bertujuan untuk menaikkan tunjangan. Hal ini terlihat
dari satu kasus yang mengemuka di NTT bahwa setiap guru yang mengikuti uji
kompetensi dan portofolia rela mengeluarkan dan sampai ratusan ribu dan ada
yang stress ketika mereka dinyatakan lulus uji kompetensi namun tunjangan tidak
mereka dapatkan[9].
[1] Baca:
hasil catatan kenakalan dan kekerasan antar pelajar yag dilakukan oleh Komisi
Perlindungan Anak (Komnas PA) yang dirilis
Metro Politan Jum’at 28 Desember 2012 (http://metropolitan.inilah.com)
[2]
Achmad Junaidi, Gus Dur Presiden Kyai
Indonesia; Pemikiran nyentrik Abdurrahman Wahid Dari Pesantren Hingga Parlemen
Jalanan, (Diantama Surabaya: 2010) Hal. 14
[3]
Van Martin Busines, Rakyat Kecil; Islam
dan Politik (Yayasan Benteng Budaya, Jogyakarta: 1985) Hal. 18
[4]
Abdurrahman Wahid, Kurikulum Pesantren
dan Penyediaan Angkatan Kerja, (Dalam Dialog Litbang Departemen Agama
Republik Indonesia, Tahun. 1979) IV:17
[5] H.
Hasan Anwar, Pendidikan Pesantren dan
Penyediaan Tenaga Kerja, Telaah Modernisasi Kurikulum, (dalam Jurnal
Nizamiya: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya: Vol. 5 No.1 Tahun
2002)Hal. 31
[6]
Baca: Landasan Yuridis dan Landasan
Filosofis Pendidikan: Dinn Wahyudin dkk “Pengantar Pendidikan” (Universitas Terbuka: Jakarta tahun 2008)
Hal. 2.9
[7]
Ingat: seorang anak yang baru lulus SD bunuh diri akibat frustasi karena ia tidak
dapat melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) karena biayanya yang mahal
sedangkan orang tua dari anak
tersebut tidak mampu membiayai anak tersebut (http://karishachan.wordpress.com) 2010
[8]
Baca: Mulyasa, E. Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan. Bandung. Remaja Rosdakarya. 2007 tanpa halaman
[9]
Baca: Spirit NTT, 17-23 November 2008, Sertifikasi
Guru antara Harapan dan Realitas. (http://spiritentete.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar